Arti sebuah kesederhanaan
Sederhana
bukan berarti harus melarat. Sederhana tidak berarti sengsara. Sehingga kami
mendefinisikan sederhana sebagai apa adanya. Artinya kami hidup sesuai dengan
apa yang kami pikirkan dan kami cita-citakan. Perjalanan menuju cita-cita
itulah yang kami sebut dengan perjuangan. Sehingga setiap manusia yang ingin
mempertahankan hidupnya harus berjuang. Tetapi bukan berarti dalam pencapaian
cita-cita itu kami harus sikut-sikutan dan saling menjatuhkan. Walaupun hal ini
banyak kami lihat dimana-mana, tapi kami meyakini bahwa hal semacam itu tidak
benar. Kami masih percaya bahwa pencapaian cita-cita akan dapat tercapai dengan
tanpa merusak hubungan manusia.
Kadang manusia bingung akan apa yang dikejarnya. Kita kadang hanya sekedar ikut-ikutan tanpa pernah mempertanyakan sistem yang kita masukin tersebut. Bahkan sekedar mempertanyakan saja tidak, bagaimana mau melakukan kritik.. Sesuatu sistem yang tidak mengakomodir kritik secara jujur dan transparan maka akan membuat individu sistem itu akan rusak. Mereka akan merasa tertekan dan tidak mustahil akan mengakibatkan penyakit jika sudah terakumulasi. Hehe.. :)
Seperti kebanyakan orang, rutinitas kita lakukan tanpa pernah melihat kembali esensi yang ingin kita dapatkan. Rutinitas hanya sekedar execute program yang dibuat tanpa pernah melihat dan menganalisa error yang diperoleh. Dari error ini lah kita akan banyak belajar bagaimana seharusnya program itu dijalankan sehingga apa yang kita inginkan dari program itu akan semakin tergambar jelas.
Ketika kita lulus, idealisme kita akan diuji. Menghadapi kenyataan yang sebenarnya jauh berbeda dengan ketika kita masih berada di kampus. Paling tidak itulah yang sering kami dengar dari beberapa alumni. Kadang kita harus berkompromi dengan sistem agar kita bisa survive. Dan terkadang kita harus menelan idealisme kita mentah-mentah. Setidaknya itu juga lah yang kami lihat dari pendahulu-pendahulu kami yang mengajarkan tentang arti semangat, perjuangan, kebenaran, kebaikan, dan perlawanan masih di kampus.
Tetapi kami tidak percaya bahwa nilai-nilai itu harus luntur ketika kita lulus. Karena selama manusia mempunyai akal pikiran maka sebenarnya dia masih berpikir dan ciri utamanya adalah mampu memilih. Kami sepakat bahwa itu hanyalah sekedar pilihan. Memilih untuk ikut-ikutan seperti rutinitas diatas agar dinilai hebat oleh orang lain, atau menjadi diri sendiri yang mampu menikmati hidup dimana pun dia berada dengan apa adanya.
Ada satu perumpamaan yang sangat menarik yang selalu kami ingat:
——————————————————————————————-
Ada dua sahabat yang sedari kecil hidupnya sama. Sebut saja A dan B. Mereka melewatkan hidup bersama-sama dengan bermain di pantai. Mereka dididik oleh alam semasa itu. Suatu ketika si B harus pergi ke kota untuk memperjuangkan hidupnya, sementara si A tetap berada di pantai. Perpisahan yang mengharukan pun tampak menyelimuti mereka berdua.
Maka kehidupan pun akan berubah sesuai dengan lingkungan dimana mereka ditempa. Masing-masing punya kehidupannya sendiri-sendiri. Pemaknaan akan hidup pun pasti akan berbeda, tapi yang namanya sahabat tetap sahabat. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Akhirnya mereka telah menjadi orang. Mereka sudah beranjak tua, tetapi satu dengan yang lainnya tidak pernah bertemu. Akhirnya si B pulang ke pantai tempat dia kecil belajar.
(sekarang kita sebut si A(miskin), si B(kaya). Dilihat dari faktor ekonomi)
Si A tetap sama seperti dulu, hampir tidak banyak yang berubah dari dirinya. Dia lagi asik tiduran di jejaring antara dua pohon kelapa. Dia lagi asik nyantai menikmati keindahan laut dan pantai sembari memainkan gitarnya dan bernyanyi hanya untuk menikmati hidupnya. Si B dating dan menghampiri. Awalnya si A tidak mengenali tetapi sesudah lama menatap dia masih mengingat tai lalat di bawah hidup hidung sahabatnya itu. Mereka pun saling melepas kangen dengan nyantai-nyantai dan mengobrol-ngobrol saling mempertanyakan kondisi masing-masing dimana mereka sudah mempunyai keluarga dan juga anak. Inilah percakapan menarik yang kita ingat selalu:
B: “A, kamu kok tidak nelayan (menangkap ikan)?”
A: “Udah kok. Ini ada 10 ikan. 5 untuk kita masak dan 5 lagi untuk kita jual. Yah, untuk menyekolahkan anak-anak dan keperluan sehari-hari.”
B: “Terus kenapa sekarang ga nelayan lagi?”
A: “Buat apa?” (si A bertanya penasaran)
B: “Loh, kalau kamu nelayan lagi kan bisa dapat ikan lebih banyak, kan bisa dapat uang lebih banyak.”
A: “Buat apa? Kan semuanya sudah tercukupi..” si A semakin bingung akan arah percakapan tersebut.
B: “Kan kalo punya uang banyak bisa beli kapal pesiar.”
A: “hah, kapal pesiar? Buat apa?”
B: “Kalau punya kapal pesiar kan enak tuh, bisa keliling dunia, bisa melihat-lihat tempat-tempat indah. Yah, menikmati hidup hari tua lah.”
(Lalu si A tersenyum sembari menatap sahabatnya dan berkata),
A: “B, apa yang kamu lihat sekarang kawan? Bukankah aq sedang menikmati hidupku.”
Si B lalu tertunduk dan mungkin dia tidak dapat berkata apa-apa lagi.
Kadang manusia bingung akan apa yang dikejarnya. Kita kadang hanya sekedar ikut-ikutan tanpa pernah mempertanyakan sistem yang kita masukin tersebut. Bahkan sekedar mempertanyakan saja tidak, bagaimana mau melakukan kritik.. Sesuatu sistem yang tidak mengakomodir kritik secara jujur dan transparan maka akan membuat individu sistem itu akan rusak. Mereka akan merasa tertekan dan tidak mustahil akan mengakibatkan penyakit jika sudah terakumulasi. Hehe.. :)
Seperti kebanyakan orang, rutinitas kita lakukan tanpa pernah melihat kembali esensi yang ingin kita dapatkan. Rutinitas hanya sekedar execute program yang dibuat tanpa pernah melihat dan menganalisa error yang diperoleh. Dari error ini lah kita akan banyak belajar bagaimana seharusnya program itu dijalankan sehingga apa yang kita inginkan dari program itu akan semakin tergambar jelas.
Ketika kita lulus, idealisme kita akan diuji. Menghadapi kenyataan yang sebenarnya jauh berbeda dengan ketika kita masih berada di kampus. Paling tidak itulah yang sering kami dengar dari beberapa alumni. Kadang kita harus berkompromi dengan sistem agar kita bisa survive. Dan terkadang kita harus menelan idealisme kita mentah-mentah. Setidaknya itu juga lah yang kami lihat dari pendahulu-pendahulu kami yang mengajarkan tentang arti semangat, perjuangan, kebenaran, kebaikan, dan perlawanan masih di kampus.
Tetapi kami tidak percaya bahwa nilai-nilai itu harus luntur ketika kita lulus. Karena selama manusia mempunyai akal pikiran maka sebenarnya dia masih berpikir dan ciri utamanya adalah mampu memilih. Kami sepakat bahwa itu hanyalah sekedar pilihan. Memilih untuk ikut-ikutan seperti rutinitas diatas agar dinilai hebat oleh orang lain, atau menjadi diri sendiri yang mampu menikmati hidup dimana pun dia berada dengan apa adanya.
Ada satu perumpamaan yang sangat menarik yang selalu kami ingat:
——————————————————————————————-
Ada dua sahabat yang sedari kecil hidupnya sama. Sebut saja A dan B. Mereka melewatkan hidup bersama-sama dengan bermain di pantai. Mereka dididik oleh alam semasa itu. Suatu ketika si B harus pergi ke kota untuk memperjuangkan hidupnya, sementara si A tetap berada di pantai. Perpisahan yang mengharukan pun tampak menyelimuti mereka berdua.
Maka kehidupan pun akan berubah sesuai dengan lingkungan dimana mereka ditempa. Masing-masing punya kehidupannya sendiri-sendiri. Pemaknaan akan hidup pun pasti akan berbeda, tapi yang namanya sahabat tetap sahabat. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Akhirnya mereka telah menjadi orang. Mereka sudah beranjak tua, tetapi satu dengan yang lainnya tidak pernah bertemu. Akhirnya si B pulang ke pantai tempat dia kecil belajar.
(sekarang kita sebut si A(miskin), si B(kaya). Dilihat dari faktor ekonomi)
Si A tetap sama seperti dulu, hampir tidak banyak yang berubah dari dirinya. Dia lagi asik tiduran di jejaring antara dua pohon kelapa. Dia lagi asik nyantai menikmati keindahan laut dan pantai sembari memainkan gitarnya dan bernyanyi hanya untuk menikmati hidupnya. Si B dating dan menghampiri. Awalnya si A tidak mengenali tetapi sesudah lama menatap dia masih mengingat tai lalat di bawah hidup hidung sahabatnya itu. Mereka pun saling melepas kangen dengan nyantai-nyantai dan mengobrol-ngobrol saling mempertanyakan kondisi masing-masing dimana mereka sudah mempunyai keluarga dan juga anak. Inilah percakapan menarik yang kita ingat selalu:
B: “A, kamu kok tidak nelayan (menangkap ikan)?”
A: “Udah kok. Ini ada 10 ikan. 5 untuk kita masak dan 5 lagi untuk kita jual. Yah, untuk menyekolahkan anak-anak dan keperluan sehari-hari.”
B: “Terus kenapa sekarang ga nelayan lagi?”
A: “Buat apa?” (si A bertanya penasaran)
B: “Loh, kalau kamu nelayan lagi kan bisa dapat ikan lebih banyak, kan bisa dapat uang lebih banyak.”
A: “Buat apa? Kan semuanya sudah tercukupi..” si A semakin bingung akan arah percakapan tersebut.
B: “Kan kalo punya uang banyak bisa beli kapal pesiar.”
A: “hah, kapal pesiar? Buat apa?”
B: “Kalau punya kapal pesiar kan enak tuh, bisa keliling dunia, bisa melihat-lihat tempat-tempat indah. Yah, menikmati hidup hari tua lah.”
(Lalu si A tersenyum sembari menatap sahabatnya dan berkata),
A: “B, apa yang kamu lihat sekarang kawan? Bukankah aq sedang menikmati hidupku.”
Si B lalu tertunduk dan mungkin dia tidak dapat berkata apa-apa lagi.
sante
kayak di pante
————————————————————-
Mungkin
banyak orang baru dengan punya ‘kapal pesiar’ baru dia bisa menikmati hidup.
Tapi tidak dengan kami, mungkin kami lebih memilih A dengan gaya hidupnya yang
sederhana. Sederhana tidak berarti malas. Sederhana tidak berarti tidak bekerja
keras, sederhana tidak berarti meminta-minta. Sederhana berarti mensyukuri apa
yang kita terima dari pemberian-Nya akan usaha yang kita lakukan.
:)
:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar